Figur Bertopi di Relief Candi Zaman Majapahit Itu Ternyata Raden Panji

sumber:klik di sini



 Bagi awam, sederetan relief pada dinding candi seringkali tidak dimengerti. Hal ini bisa dimaklumi, sebab untuk dapat mengerti memang diperlukan ikonografi, yaitu cabang sejarah seni yang mempelajari identifikasi, deskripsi dan interpretasi isi gambar.       Dengan ilmu ini, pembacaan relief candi dapat memberi gambaran kepada sejarawan, sosiolog, antropolog bahkan masyarakat perihal sikap budaya di masa silam untuk kita pakai merancang masa depan.      Sebagai contoh, perhatikan relief perahu pada Candi Borobudur. Dari panel itu dapat kita ketahui telah berkembang teknologi pertukangan perahu dan henatnya budaya maritim nenek moyang kita (abad ke 9). Demikian pula yang terbaca dalam relief candi-candi di era Kerajaan Majapahit, banyak hal menarik dapat kita pelajari, salah satunya hadir relief figur bertopi yang tidak kita jumpai pada relief candi periode Jawa Tengah.


Relief bertopi yang sangat spesifik ini telah menarik perhatian DR Lydia Kieven, seorang antropolog lulusan University of Sydney, untuk datang ke Pulau Jawa dan mengadakan penelitian dalam waktu yang panjang. Figur bertopi dalam relief candi di periode akhir Majapahit, bertutur beragam kisah dengan beragam fungsi yang mencerminkan sikap budaya dan masyarakatnya.

Pada relief Teras Pendopo di kawasan situs Candi Panataran Blitar, serta pada dinding Petirtaannya (di bagian belakang), di sana dipahatkan figur bertopi yang dimengerti sebagai tokoh Panji. Menurut DR Lydia Kieven, figur tersebut terbaca sebagai tokoh utama yang cukup menarik untuk ditelusuri, figur itu memang bernama Panji Asmarabangun atau biasa disebut Raden Panji.


Salah satu ciri khas yang menonjol dari figur ini adalah memakai topi setengah bundar yang disebut tekes. Selain itu figur ini tampil sederhana, tanpa memakai baju (dada terbuka), mengenakan kain panjang pada bagian bawah, memakai gelang, cincin dan anting di telinga dan senantiasa diiringi kadeyan (embannya bernama Punta dan Kertala).


Kisah singkatnya, Raden Panji Asmarabangun adalah seorang Pangeran dari kerajaan Jenggala (abad 9), memiliki kekasih bernama Dewi Sekartadji atau Dewi Galuh Candra Kirana, putri dari kerajaan Panjalu. Sayangnya sang ayah Sekartaji tidak berkenan dengan percintaan tersebut dengan alasan sudah menjodohkan putrinya dengan pria lain. Mendapati penolakan ini, maka Dewi Sekartaji bertekad melarikan diri sebab tidak berkenan dijodohkan.


Keadaan ini akhirnya membuat Raden Panji memutuskan diri berkelana, mencari sang kekasih yang menghilang tersebut. Kisah ini berakhir bahagia dengan menyatukan mereka berdua kembali. Secara politis, perkawinan Panji dan Sekartaji telah menyatukan dua kerajaan besar yakni Jenggala dan Panjalu. Sifat, sikap dan perilaku Raden Panji yang bijak serta merakyat selama berkelana inilah yang menarik untuk dikaji dan diwarisi sebagai moral etik budaya bangsa Indonesia yang adiluhung.

Di era Kerajaan Majapahit, maka klaim pemersatu itu dimiliki oleh Raja Hayam wuruk dengan perjalanan keliling negara sebagaimana tercatat dalam Desawarnana (Negarakrtagama). Kalau kita amati berbagai relief di candi yang melukiskan tokoh bertopi yang dikaitkan dengan makna simbolisasi tokoh Panji di banyak candi, seringkali figur bertopi ini memiliki peran berbeda-beda. Pada relief Candi Kendalisodo (lereng gunung Penanggungan), Panji memegang peran pemandu ke ranah religious/esoteris.

Sedangkan di pemujaan Candi Yudha, Panji memandu bangsawan muda untuk menunjukkan kepada mereka jalan menuju kekesatriaan (hal. 383). Figur bertopi hadir juga pada relief Candi Jago, Candi Surawana, Candi Mirigambar dan beberapa candi di Gunung Penanggungan. Kehadirannya teridentifikasi dalam beragam status, dapat mencerminkan rakyat biasa, bangsawan, pangeran atau raja (Panji).

Hasil penelitian DR Lydia Kieven, perihal relief figur bertopi pada candi-candi zaman Majapahit periode Jawa Timur sungguh detil dan memberikan tafsir yang baik. Tulisan perempuan peneliti ini kini dapat kita baca dalam sebuah buku setebal 452 halaman. Judulnya ‘Menelusuri Figur Bertopi Dalam Relief Candi Zaman Majapahit, Pandangan Baru terhadap Fungsi Religius Candi-Candi Periode Jawa Timur Abad ke-14 dan ke-15’.


Sebagai penerjemah Arif Bagus Prasetyo, penerbit KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) bekerja sama dengan Ecole Franqaise d’Extreme-Orient dan InstitutFranqais d’Indonesie, Desember 2014. Atau versi Bahasa Inggris, ‘Following the Cap-Figure in Majapahit Temple Reliefs A New Look at The Religious Funtion of East Javanese Temples, 14th and 15th centuries’, Koninklijke Brill NV, 2013, Leiden, The Netherland

Sebagaimana dalam kata penulisnya, buku ini memberi tafsir baru perihal peranan figur bertopi yang terukir pada relief candi-candi era akhir Kerajaan Majapahit. Figur bertopi yang dikenali bernama Panji, terdeteksi memiliki fungsi beragam, kadang sebagai pengajaran, tuntunan bahkan mediasi untuk ‘peziarah’ dalam mempersiapkan sikap dan mental menjelang pertemuan dengan yang suci di candi.

Selain mengamati sosok figur bertopi, dalam buku ini banyak dikupas perihal percandian di Jawa Timur. Buku ini yang sangat menarik dan pantas mengisi rak buku kita sebagai koleksi yang bermutu. Buku ini ditulis secara serius, detil dan teliti, hal ini tercermin dari banyaknya literatur yang digunakan. Di sisi lain juga melihat spirit DR Lydia Kieven dalam penjelajahannya ke berbagai lokasi candi untuk mengadakan penelitian, meski seringkali tidak mudah untuk menjangkau lokasi tersebut. Selamat membaca!

*Diresensi oleh Bambang AW (perupa dan penulis tinggal di Kota Malang)


Comments